Waktu Sekarang

21 April 2025 12:19

Big Data: Siapa yang Mengendalikan ?

Kategori :

Share:

Share on facebook
Share on twitter
Share on pinterest
Share on linkedin
Share on whatsapp

Oleh: Habib Hidayatullah
Jurusan Informatika, Universitas Muhammadiyah Malang

Siapa yang Mengendalikan Data dalam Era Big Data?
Dalam era digital saat ini, istilah big data telah menjadi bagian integral dari berbagai sektor, mulai dari bisnis hingga pemerintahan. Namun, dengan pertumbuhan eksponensial dalam pengumpulan dan pengolahan data, muncul pertanyaan mendasar; siapa yang sebenarnya mengendalikan data? Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut aspek teknis dan keamanan, tetapi juga etika dan privasi.

Big data merujuk pada kumpulan data yang sangat besar dan kompleks sehingga tidak dapat dikelola atau dianalisis menggunakan metode tradisional. Menurut Doug Laney, big data memiliki tiga karakteristik utama, yaitu Volume, Velocity, dan Variety.

Volume merujuk pada jumlah data yang sangat besar, velocity menggambarkan kecepatan pengumpulan dan pemrosesan data, sementara variety mengacu pada keragaman jenis data yang berasal dari berbagai sumber, seperti media sosial, transaksi bisnis, dan perangkat IoT.

Dengan sifatnya yang masif dan beragam, big data menawarkan peluang besar bagi organisasi untuk memahami tren pasar, meningkatkan efisiensi operasional, dan memberikan layanan yang lebih personal kepada pelanggan.

Namun, pengelolaan big data tidak lepas dari berbagai tantangan. Dalam konteks ini, terdapat beberapa pihak yang memiliki peran penting. Data controller adalah individu atau badan yang bertanggung jawab atas pengumpulan dan pemrosesan data pribadi.

Data controller memiliki kendali atas tujuan dan cara pemrosesan data, serta harus mematuhi undang-undang dan peraturan privasi internet. Sementara itu, Data Processor merupakan pihak yang memproses data atas nama data controller, tanpa kendali atas tujuan penggunaannya.

Untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi, organisasi biasanya menunjuk seorang data Protection Officer (DPO) yang berperan dalam melindungi hak-hak individu terkait data. Keberadaan DPO menjadi semakin krusial di tengah meningkatnya kesadaran akan hak privasi individu.

Meskipun big data membawa manfaat besar, seperti efisiensi operasional dan pengambilan keputusan berbasis data, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Salah satunya ialah masalah keamanan dan privasi, di mana risiko kebocoran data meningkat seiring dengan jumlah data yang dikumpulkan.

Kebocoran data tidak hanya merugikan organisasi tetapi juga individu yang datanya disalahgunakan. Langkah seperti enkripsi, firewall, dan sistem deteksi intrusi diperlukan untuk memitigasi risiko ini. Selain itu, perubahan regulasi seperti GDPR, CCPA, dan UU PDP di Indonesia memaksa organisasi untuk terus memperbarui kebijakan mereka.

Kepatuhan terhadap regulasi ini tidak hanya memerlukan investasi teknologi, tetapi juga perubahan budaya organisasi untuk menempatkan privasi sebagai prioritas utama di big data tersebut.

Tantangan lainnya merupakan kebutuhan akan sumber daya IT yang besar untuk mengelola dan menyimpan data dalam jumlah masif. Teknologi seperti cloud computing dan sistem penyimpanan terdistribusi seperti Hadoop menjadi solusi utama. Infrastruktur ini memungkinkan organisasi untuk mengakses, memproses, dan menganalisis data secara lebih efisien.

Namun, biaya investasi untuk membangun infrastruktur tersebut bisa menjadi hambatan, terutama bagi organisasi kecil dan menengah. Selain itu, kualitas data juga menjadi perhatian, karena data yang buruk dapat menghasilkan analisis yang tidak akurat. Oleh karena itu, proses validasi, pembersihan, dan integrasi data menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa data yang digunakan benar-benar dapat diandalkan dan digunakan.

Teknologi seperti kecerdasan buatan AI dan blockchain saat ini memainkan peran penting dalam pengelolaan big data. AI digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan mendapatkan wawasan yang lebih mendalam, misalnya melalui analisis sentimen pelanggan.

Dalam konteks ini, AI mampu menganalisis data dalam jumlah besar untuk mengidentifikasi pola, tren, dan anomali yang sulit ditangkap oleh metode tradisional. Di sisi lain, blockchain menawarkan keamanan tambahan melalui pencatatan data yang desentralisasi, sehingga dapat mengurangi risiko manipulasi.

Blockchain juga dapat digunakan untuk melacak asal-usul data, memastikan transparansi, dan memberikan kepercayaan kepada pemilik data bahwa informasi mereka diproses secara etis dan akurat.

Namun, di balik semua manfaat tersebut, terdapat isu etika dan privasi yang tidak bisa diabaikan. Banyak individu tidak menyadari bagaimana data mereka digunakan untuk meningkatkan efesien operasional dan pengambilan keputusan, yang menimbulkan kekhawatiran tentang kurangnya transparansi.

Sebagai contoh, data yang diambil dari aktivitas online sering kali digunakan untuk tujuan komersial tanpa sepengetahuan pengguna. Situasi ini menciptakan kesenjangan kepercayaan antara pengguna dan organisasi yang mengelola data.

Untuk mengatasi hal ini, organisasi perlu memberikan informasi yang jelas tentang penggunaan data dan memberikan opsi kepada individu untuk menyetujui atau menolak penggunaannya. Regulasi seperti GDPR menyediakan kerangka untuk melindungi privasi individu dengan memberikan hak-hak tertentu kepada pemilik data, seperti hak untuk mengakses, memperbaiki, atau menghapus data pribadi mereka.

Dengan demikian, pertanyaan tentang siapa yang mengendalikan data dalam big data merupakan isu yang kompleks dan membutuhkan kerja sama antara berbagai pihak. Organisasi perlu memperkuat tata kelola data mereka dengan mengikuti praktik terbaik dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi.

Selain itu, mereka harus berkomitmen untuk meningkatkan transparansi dan membangun kepercayaan publik. Di sisi lain, individu harus lebih sadar akan nilai informasi pribadi mereka dan berani menuntut hak mereka atas data yang digunakan.

Dengan pendekatan yang tepat, big data tidak hanya dapat meningkatkan efisiensi tetapi juga mendorong inovasi, sambil tetap menghormati privasi dan hak individu. Dalam era yang semakin digital ini, kolaborasi antara teknologi, regulasi, dan etika menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem data yang berkelanjutan dan adil.(*)

No Tag
Matarajawali
Di Post : 4 bulan Yang Lalu
Berita Serupa