foto: H. Imron Fauzi
Matarajawali.net – Lumajang; Kekalahan telak pasangan Khofifah-Emil di Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur, adalah sebuah pukulan telak yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimana mungkin pasangan yang meraih 60% suara di tingkat provinsi justru terguling di pusat ekonomi dan politik terbesar di Jawa Timur dengan hanya memperoleh 25% suara.
H.imron fauzi wakil ketua TPD 03 JATIM, mengatakan kekalahan Khofifah-Emil di ibukota provinsi Jawa Timur adalah pukulan telak, menurutnya ini bukan hanya sekadar hasil pemilu, tapi cerminan dari kegagalan kepemimpinan yang telah teruji waktu.
“Jika kita menggali lebih dalam, kekalahan ini bisa jadi merupakan sebuah refleksi dari kegagalan Khofifah yang telah menjabat sebagai Ketua Umum Muslimat NU selama tiga periode. Ini sebuah jabatan yang seharusnya memberikan bekal pengalaman kepemimpinan yang matang dan regenerasi, justru menunjukkan betapa mandulnya proses pembaharuan dalam tubuh organisasi tersebut,” jelas Imron Fauzi.
Menurut Imron ketidakmampuan Khofifah-Emil menghadirkan regenerasi adalah bukti kepemimpinan yang mandul.
“Ketua Umum Muslimat NU selama tiga periode, seharusnya menjadi pemimpin yang melahirkan generasi penerus yang lebih baik. Namun, kenyataannya, Khofifah justru terjebak dalam kepemimpinan yang berulang-ulang tanpa mampu memberikan ruang bagi regenerasi, dengan waktu yang begitu lama memimpin, apa yang telah dia tinggalkan?” lanjut Imron.
Dirinya membeberkan tidak ada perubahan signifikan yang mengarah pada pembaharuan dalam struktur organisasi, apalagi di tingkat provinsi. Dalam perspektifnya Khofifah yang telah lama menjabat, seharusnya mampu mempersiapkan generasi penerus yang dapat menjaga dan mengembangkan organisasi lebih baik.
Namun, organisasi yang dipimpinnya terkesan stagnan, tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman yang terus berkembang.
“Dalam konteks ini, Surabaya sebagai kota besar yang penuh dinamika, memilih untuk menghukum ketidakmampuan Khofifah dalam menghasilkan regenerasi kepemimpinan yang segar, lebih inovatif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern,” bebernya.
Selain itu, Khofifah juga dinilai gagal menjawab tantangan di Ibukota provinsi yakni Surabaya, dengan masyarakatnya yang kritis dan memiliki kedekatan dengan berbagai masalah sosial-ekonomi, ternyata memilih justru Risma dengan 72% suara. Risma, yang sebelumnya merupakan Wali Kota Surabaya, bukanlah sosok yang hanya bergantung pada kepemimpinan konvensional.
“Dia (Risma) menghadirkan kepemimpinan yang lebih segar, dekat dengan rakyat, dan solutif terhadap masalah perkotaan,” tegasnya.
“Kehadiran Khofifah sebagai incumbent justru terperangkap dalam citra lama, di mana pengaruh politik dan relasi yang terjalin tidak mampu lagi menjawab tantangan baru. Surabaya bukan kota untuk bermain politik tradisional, Surabaya membutuhkan pemimpin yang mampu memberi solusi konkret, bukan sekadar berdiri di balik statistik kemenangan besar di tingkat provinsi,” urainya.
Imron Fauzi menyampaikan bahwa kekalahan Khofifah di Surabaya juga menunjukkan ketidakmampuannya menjangkau akar rumput. Khofifah yang telah menjadi tokoh penting di dunia politik, ternyata terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat Surabaya.
“Rakyat Surabaya, yang sudah cerdas dan kritis, merasa bahwa politik Khofifah tidak memberi dampak langsung pada kehidupan mereka. Janji-janji manis yang terlontar selama kampanye, tanpa adanya eksekusi nyata, membuat mereka berpaling pada sosok yang lebih mereka percayai yakni Risma, yang lebih berfokus pada pengelolaan kota dan permasalahan rakyat,” ucapnya.
Menurutnya Khofifah seharusnya memberikan bukti nyata bahwa kepemimpinannya dapat merangkul berbagai kalangan, termasuk mereka yang berjiwa muda dan progresif. Namun, di balik prestasinya, Khofifah lebih banyak bergantung pada pengaruh politik tradisional, tanpa mampu menawarkan sesuatu yang baru.
“Seharusnya, sebagai pemimpin selama tiga periode di Muslimat, dia dapat menunjukkan bahwa dia mampu melahirkan sebuah terobosan dalam kepemimpinan, baik dalam organisasi, pemerintahan, maupun dalam interaksi dengan rakyat. Namun yang terjadi adalah regenerasi yang terhambat dan tidak adanya pembaruan yang berarti,” ungkap Imron.
Imron Fauzi berpendapat jika kekalahan Khofifah di Surabaya adalah sebuah pelajaran tentang terlalu lama berkuasa tanpa melahirkan regenerasi yang baik.
“Rakyat Jawa Timur, khususnya Surabaya, tidak lagi terpesona dengan citra pemimpin yang tidak mampu beradaptasi dengan zaman. Ketika seorang pemimpin tidak mampu melahirkan perubahan yang berarti dalam jangka waktu yang panjang, dia akan dengan cepat digantikan oleh mereka yang lebih relevan dan solutif,” paparnya.
Kekalahan Khofifah-Emil di Surabaya adalah sebuah cermin kegagalan kepemimpinan yang harus diakui. Sebagai seorang pemimpin yang telah lama berkuasa, Khofifah harusnya bisa meraih kemenangan besar di ibukota provinsi.
“Namun, kenyataan berkata lain Surabaya lebih memilih Risma pemimpin yang lebih dekat dengan rakyat dan lebih memahami kebutuhan mereka. Terlalu lama berkuasa tanpa memberi ruang bagi regenerasi, tidak hanya membuat organisasi stagnan, tetapi juga menjauhkan seorang pemimpin dari kenyataan yang dihadapi oleh rakyat. Ini adalah sebuah pelajaran bagi setiap pemimpin yang terjebak dalam kesenangan kekuasaan tanpa melahirkan perubahan nyata,” pungkas Imron Fauzi. (Ai)